Tatkala Istri Durhaka/Nusyuz
Setelah kita mengetahui
apa saja kewajiban istri, begitu
pula kewajiban suami,
barangkali ketika menjalani rumah tangga sering ada cek-cok,
masalah, dan keributan. Sampai-sampai istri berbuat nusyuz atau
melakukan pembangkangan. Terutama karena tidak memperhatikan kewajiban
masing-masing dan seringnya menuntut hak. Akhirnya keributan pun terjadi. Islam
sudah mengetahui akan terjadi masalah semacam ini dan Islam berusaha memberikan
solusi terbaik, supaya rumah tangga tetap utuh. Jangan sampai istri berbuat
melampaui batas, begitu pula suami ketika menyikapi istri.
Apa itu Nusyuz?
Nusyuz secara bahasa
berarti tempat yang tinggi (menonjol). Sedangkan secara istilah nusyuz berarti
istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah
wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol.
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan
membencinya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa yang dimaksud nusyuz adalah wanita keluar dari rumah suaminya
tanpa ada alasan yang benar.
Sedangkan ulama
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nusyuz adalah keluarnya
wanita dari ketaatan yang wajib kepada suami. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40:
284). Ringkasnya, nusyuz adalah istri tidak lagi menjalankan
kewajiban-kewajibannya. Silakan merujuk kembali pada bahasan kewajiban istri.
Hukum Nusyuz
Nusyuz wanita pada suami
adalah haram. Karena wanita nusyuz yang tidak lagi mempedulikan nasehat, maka
suami boleh memberikan hukuman. Dan tidaklah hukuman ini diberikan melainkan
karena melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Mengenai hukuman yang
dimaksud disebutkan dalam ayat,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Mengobati Istri yang Nusyuz
Jika wanita terus bermuka
masam di hadapan suami, padahal suami sudah berusaha berwajah seri; berkata
dengan kata kasar, padahal suami sudah berusaha untuk lemah lembut; atau
ada nusyuz yang lebih terang-terangan seperti selalu enggan jika diajak ke
ranjang, keluar dari rumah tanpa izin suami, menolak bersafar bersama suami,
maka hendaklah suami menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan yang telah
dituntukan oleh Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Urutannya dimulai dari hal berikut ini:
1. Memberi nasehat
Hendaklah suami
menasehati istri dengan lemah lembut. Suami menasehati istri dengan
mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat pada suami dan
tidak menyelisihinya. Ia pun mendorong istri untuk taat pada suami dan
memotivasi dengan menyebutkan pahala besar di dalamnya. Wanita yang baik adalah
wanita sholehah, yang taat, menjaga diri meski di saat suami tidak ada di
sisinya. Kemudian suami juga hendaknya menasehati istri dengan menyebutkan
ancaman Allah bagi wanita yang mendurhakai suami.
Jika istri telah menerima
nasehat tersebut dan telah berubah, maka tidak boleh suami menempuh langkah
selanjutnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا
تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya” (QS. An Nisa’: 34).
Namun jika nasehat belum
mendapatkan hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.
2. Melakukan hajr
Hajr artinya memboikot
istri dalam rangka menasehatinya untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah inilah
yang disebutkan dalam lanjutan ayat,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan
hajarlah mereka di tempat tidur mereka” (QS. An Nisa’: 34).
Mengenai cara menghajr,
para ulama memberikan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauzi:
1. Tidak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh
2. Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
3. Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
4. Pisah ranjang (Lihat Zaadul Masiir, 2: 76).
Cara manakah yang kita
pilih? Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi istri
ketika hajr.
Namun catatan penting
yang perlu diperhatikan, tidak boleh seorang suami memboikot istri melainkan di
rumahnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika beliau ditanya mengenai kewajiban suami pada istri oleh
Mu’awiyah Al Qusyairi,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى
الْبَيْتِ
“Dan
janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula
menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr selain di rumah” (HR.
Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih). Karena jika seorang suami melakukan hajr di hadapan orang
lain, maka si wanita akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah
nusyuz.
Namun jika melakukan hajr
untuk istri di luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan karena
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di luar rumah selama sebulan.
Juga perlu diperhatikan
bahwa hajr di sini jangan ditampakkan di hadapan anak-anak karena hal itu akan
sangat berpengaruh terhadap mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak
atau menjadi anak yangbroken home yang terkenal amburadul
dan nakal.
Berapa lama masa hajr?
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa masa hajr maksimal adalah empat bulan. Namun yang lebih tepat
adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah,
Hanabilah bahwa masa hajr adalah sampai waktu istri kembali taat (tidak
nusyuz). Karena dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak, maka kita pun
mengamalkannya secara mutlak dan tidak dibatasi.
Namun jumhur ulama
berpandangan bahwa jika hajr yang dilakukan adalah dengan tidak berbicara pada
istri, maka maksimal hajr adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan
nusyuz karena suami bisa melakukan cara hajr yang lain. Dari Anas bin Malik,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ
لَيَالٍ
“Tidak
halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara)
lebih dari tiga hari” (HR. Bukhari no. 6076 dan Muslim no. 2558).
Jika tidak lagi
bermanfaat cara kedua ini, maka ada langkah berikutnya.
3. Memukul istri
Memukul istri yang nusyuz
dalam hal ini dibolehkan ketika nasehat dan hajr tidak lagi bermanfaat. Namun
hendaklah seorang suami memperhatikan aturan Islam yang mengajarkan
bagaimanakah adab dalam memukul istri:
a. Memukul dengan
pukulan yang tidak membekas
Sebagaimana nasehat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
haji wada’,
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا
تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Kewajiban
istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang
pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka
dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).
Jika seorang suami
memukul istri layaknya petinju –Mike Tyson-, maka ini bukanlah mendidik.
Sehingga tidak boleh pukulan tersebut mengakibatkan patah tulang, memar-memar,
mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak.
b. Tidak boleh lebih dari
sepuluh pukulan, sebagaimana pendapat madzhab Hambali. Dalilnya disebutkan
dalam hadits Abu Burdah Al Anshori, ia mendengar Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ
حُدُودِ اللَّهِ
“Janganlah
mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah” (HR.
Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).
c. Tidak boleh memukul
istri di wajah
Sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ
“Dan
janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya” (HR. Abu Daud no. 2142.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih).
‘Aisyah menceritahkan
mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً
لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ
إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku
tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul
sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”. (HR.
Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits inishahih sesuai
syarat Bukhari-Muslim)
d. Yakin bahwa dengan
memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi.
Jika tidak demikian, maka tidak boleh dilakukan.
e. Jika istri telah
mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Demikian beberapa solusi
yang ditawarkan oleh Islam. Jika solusi yang ditawarkan di atas tidaklah
bermanfaat, maka perceraian bisa jadi sebagai jalan terakhir. Mudah-mudahan
Allah memudahkan untuk membahas hal ini. Semoga Allah memberi kemudahan demi
kemudahan.
Wallahu
waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan
Kementrian Agama Kuwait.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu
Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu
Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
Zaadul Masiir, Ibnul
Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H
@ Ummul Hamam, Riyadh,
KSA, 30 Rabi’uts Tsani 1433 H
No comments:
Post a Comment